Rabu, 22 Oktober 2008

Paradigma Baru Pembelajaran Matematika

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

Pendahuluan

Pendidikan matematika di tanah air saat ini sedang mengalami perubahan paradigma. Terdapat kesadaran yang kuat, terutama di kalangan pengambil kebijakan, untuk memperbaharui pendidikan matematika. Tujuannya adalah agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja. Artikel ini mencoba menguraikan paradigma baru tersebut. Secara garis besar akan diuraikan tentang beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika, seperti kontruktivis, kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL), dan secara khusus akan diuraikan tentang pendekatan pendidikan matematika realistik (PMR).

Mengawali suatu proses pembelajaran matematika yang mengutamakan aspek konstruktifisme di kelas sesungguhnya guru sudah harus mempersiapkan tugas serta aktifitas belajar siswa dan mengantisipasi setiap respons dan pertanyaan yang mungkin dikemukakan siswa. Hal ini akan lebih terasa dan nampak jelas ketika terhadap suatu konsep matematika yang akan diajarkan di kelas, proses pembelajaran diawali dengan menyajikan suatu stuasi masalah yang bermakna bagi siswa, atau situasi yang kontekstual bagi siswa. Dengan demikian siswa akan berkesempatan untuk memberdayakan kemampuan serta pengalaman yang dimilikinya.

Dengan mempertimbangkan bahwa kemampuan matematika siswa berada pada level yang beragam, karena itu, soal-soal yang disajikan ketika guru mengawali suatu kegiatan belajar hendaknya dapat mengakomodasi keberagaman level pengetahuan siswa

dan membuka peluang untuk mereka berpartisipasi dalam mengkonstruksi pengetahuan mereka. Demikian juga dengan mempertimbangkan bahwa konsep matematika adalah sesuatu (pengetahuan) yang abstrak dan untuk menuju pada keabstrakan tersebut pebelajar harus berpijak pada sesuatu (pengetahuan ) yang konkrit yang dimilikinya.

Pemanfaatan terhadap pengetahuan yang dimiliki siswa sesungguhnya membuka kesempatan kepada mereka untuk berperan aktif dalam kegiatan belajar, apakah bertanya,

mengemukakan pendapat atau bekerja sama dengan temannya dalam kelompok belajar.

Dengan kata lain pembelajaran matematika di kelas janganlah “kering” dan “sepi” tetapi

melibatkan siswa secara aktif adalah suatu yang dipandang perlu dan penting.

Paradigma Baru Pendidikan

Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Dalam proses pembelajaran yang demikian, guru dianggap berhasil apabila dapat mengelola kelas sedemikian rupa sehingga siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pelajaran yang disampaikan guru. Pengajaran dianggap sebagai proses penyampaian fakta-fakta kepada para siswa. Siswa dianggap berhasil dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu menyampaikan kembali fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakannya untuk menjawab soal-soal dalam ujian. Guru sendiri merasa belum mengajar kalau tidak menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, dan selama proses belajar mengajar mampu menyampaikan materi tanpa melihat buku pelajaran. Guru yang baik adalah guru yang selama 2 kali 45 menit dapat menguasai kelas dan berceramah dengan suara yang lantang. Materi pelajaran yang disampaikan sesuai dengan GBPP atau apa yang telah tertulis di dalam buku paket.

Mengajarkan matematika sesungguhnya tidaklah sekedar bahwa guru menyiapkan dan menyampaikan aturan-aturan dan definisi-definisi, serta prosedur bagi para siswa untuk mereka hafalkan , akan tetapi termasuk dalam mengajarkan matematika adalah bagaimana guru melibatkan siswa sebagai peserta - peserta yang aktif dalam proses belajar sebagai upaya untuk mendorong mereka membangun atau mengkonstruksi pengetahuan mereka. Dalam proses belajar tersebut, hendaknya diingat bahwa diakhir dari suatu rangkaian kegiatan belajar dan mengajar, kompetensi-kompetensi penalaran, koneksi, komunikasi, representasi harus sudah nampak sebagai hasil belajar siswa.

Karena itu dalam proses pembelajaran hendaknya kegiatan belajar diarahkan untuk munculnya kompetensi-kompetensi tersebut yang dianjurkan agar kegiatan tersebut dapat

terjadi pada setiap jenjang pendidikan (NCTM, 2000).

Praktik pendidikan yang selama ini berlangsung di sekolah ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Menurut Zamroni (2000) praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.

Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan indoktriner, tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi (Zamroni, 2000).

Representasi matematika yang merupakan salah satu kompetensi adalah suatu aspek yang selalu hadir dalam pembelajaran matematika. Representasi atau model dari suatu situasi atau konsep matematika jika disajikan dalam bentuk yang sudah jadi sesungguhnya dapat dipandang telah mengurangkan atau meniadakan kesempatan bagi siswa untuk berpikir kreatif dan menemukan sejak awal konsep matematika yang terkandung dalam suatu situasi masalah. Representasi matematika terhadap suatu situasi atau suatu konsep dapat muncul dalam berbagai cara, konkrit (benda nyata), semi konkrit,

benda tiruan atau gambar, semi abstrak (sketsa, atau lambang yang siswa buat sendiri) serta abstrak yang berbentuk simbol-simbol resmi dan rumus. Dengan demikian representasi atau model matematika juga dapat dipandang bertransisi dan merupakan jembatan yang menghubungkan bagian konkrit dan abstrak dalam pembelajaran matematika. (Gravemeijer, 1994). Kehadiran representasi dalam pembelajaran matematika akan memicu juga timbulnya kemampuan untuk mengaitkan ide-ide matematika dalam berbagai topik ataupun dengan situasi keseharian, ataupun memunculkan kemampuan siswa untuk bernalar serta berkomunikasi. Artinya dengan beragam representasi yang siswa munculkan mereka diharapkan dapat mengkomunikasikan gagasan atau strategi mereka kepada temannya saat mereka berinteraksi di kelas. Sesungguhnya kompetensi-kompetensi ini jika secara sengaja diberikan peluang untuk muncul dan disiasati secara baik, maka akan merupakan modal dasar untuk menunjang kemampuan pemecahan masalah matematika.

Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual

Faham Konstruktivis

Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus (Suparno, 1997).

Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).

Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).

Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.

1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).

3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).

Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.

1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.

2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.

3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.

4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.

5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).

Pendekatan Kontekstual

Beberapa pendapat tentang konstektual dikemukakan oleh :
1. Nurhadi (2002, h. 5) mengemukakan,
“Pembelajaran konstektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan ntara materi dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya engan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan melibatkan tujuh omponen utama pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme, bertanya, menemukan, asyarakat belajar, permodelan dan penilaian sebenarnya”.
2. Erman Suherman (2003, h. 3) mengemukakan, “Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Leaning, CTL) adalah pembelajaran yang dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan, berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari-hari yang dialami siswa kemudian diangkat ke dalam konsep yang dibahas”. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstektual memberikan penekanan pada penggunaan berpikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan, permodelan, informasi dan data dari berbagai sumber. Dalam kaitan dengan evaluasi, pembelajaran dengan konstektual lebih menekankan pada authentik assesmen yang diperoleh dari berbagai kegiatan.
Pendekatan kontekstual dalam buku Pendekatan Kontekstual yang diterbitkan oleh DEPDIKNAS tahun 2002,
Pembelajaran Kontekstual (contextual Teching and Leaning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari.
3. Joshua (2003, h. 2) mengemukakan :
“Pembelajaran konstektual adalah suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar yang dituntut dalam pelajaran”.
Pendekatan kontekstual ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siwa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Tugas guru dalam kelas kontekstual ini adalah membantu siswa mencapai tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan srtategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan suatu yang baru bagi anggota kelas (siswa).
Pendekatan kontekstual ini perlu diterapkan mengingat bahwa sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihapal. Dalam hal ini fungsi fungsi dan peranan guru masih dominan sehingga siswa menjadi pasif dan tidak kreatif. Melalui pendekatan kontekstual ini siswa diharapkan belajar denga cara mengalami sendiri bukan menghapal.

Hakikat Pendekatan dalam Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yaitu: konstruktivisme (constractivism), menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (leaning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflekction), dan penilaian yang sebenarnya (autentic assesment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajarannya.
Berikut ini adalah uraian mengenai ketujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual yang terdapat pada Contextuan Teaching And Leaning (Depdiknas, 2002, h. 10 ) sebagai berikut :
1) Kontrukstivisme (Constractivism)
Kontrukstivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan kontekstual. Maksud konstruktivisme disini adalah pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak secara mendadak. Dalam hal ini, manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalan nyata.

2) Menemukan (Inquiri)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari proses pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam hal ini tugas guru yang harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya.
3) Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual. Dalam proses pembelajaran bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis penemuan (inquiri), yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diteliti dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
4) Masyarakat Belajar ( Learning Community)
Konsep masyarakat belajar ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil pembelajaran diperoleh dari berbagi antar teman, antar kelompok dan antar yang tahu dengan yang tidak tahu. Masyarakat belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, seseorang yang terlibat dalam masyarakat belajar akan memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman belajarnya. Oleh karena itu, dalam kelas kontekstual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompokbelajar.
5) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan maksudnya adalah bahwa dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu harus ada model yang ditiru. Pemodelan akan lebih mengefektifkan pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual untuk ditiru, diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya suatu model untuk dijadikan contoh biasnya akan lebih dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Salah satu contohnya pemodelan dalam pembelajaran misalnya mempelajari contoh penyelesaian soal, penggunaan alat peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu baca, atau dalam membuat skema konsep. Pemodelan ini tidak selalu oleh guru, bisa oleh siswa atau media yang lainnya.

6) Refleksi (Feflection)
Refleksi adalah cara berpikir apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Refleksi adalah berpikir kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan lagi aktivitas yang telah dilakukan atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan. Refleksi berguna untuk mengevaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri. Membuat rangkuman, meneliti, dan memperbaiki kegagalan, mencari alternatif lain cara belajar (leaning how to learn) dan membuat jurnal pembelajaran adalah contoh refleksi.
7) Penilaian yang Sebenarnya (Autentic Assesmen)
Assesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara konperhensif berkenaan dengan seluruh aktifitas pembelajaran yang meliputi proses dan produk belajar sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukan mendapat penghargaan. Penilaian otentik seharusnya dilakukan dari berbagi aspek dan metode sehingga menjadi obyektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai aktivitas dan motivasi, wawancara atau angket untuk menilai asfek afektif dan tes untuk menilai tingkat penguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.
Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata (real word), berpikir tingkat tinggi, aktivitas siswa, aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif dan pembentukan mausia yang memiliki akal sehat.
Untuk melaksanakan pembelajaran metematika dengan pendekatan kontekstual ada berbagai model pembelajaran yang bisa diterapkan. Menurut Erman Suherman (2003, h. 10) model pembelajaran yang bisa diterapkan dalam pembelajaran konstektual diantaranya adalah :
1) Pembelajaran langsung ( Direct Instraction, DI )
2) Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning)
3) Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Instruksional, PBI)
4) Pembelajaran Problem Terbuka (Open Ended)
5) Model SAVI ( Somatic, Auditory, Visuality, Intellectuality)

Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kontekstual
Sedangkan Hamalik (1999) menyatakan, “Sambutan (responding) adalah suatu sikap terbuka ke arah sambutan”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa respon adalah perilaku yang lahir berupa sambutan atau sikap terbuka dari hasil masuknya stimulus ke dalam pikiran seseorang.
Winataputra dan Rosita (1995) mengatakan bahwa respon adalah perilaku yang lahir dan merupakan hasil masuknya stimulus ke dalam pikiran seseorang. Stimulus bisa datang dari objek misalnya peta, lingkungan, peristiwa, suasana orang lain atau dari aktifitas subjek lain misalnya orang lain bertanya kepada kita dan kita memberikan jawaban.
Menurut Winataputra dan Rosita (1995) penggolongan perilaku terdiri kawasan-kawasan yang secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :
1) Belajar kognitif melibatkan proses pengenalan atau penemuan. Belajar kognitif mencakup asosiasi antar unsur pembentukan konsep, penemuan masalah, dan keterampilan pemecahan masalah yang selanjutnya membentuk perilaku guru. Berpikir, menalar, menilai, berimajinasi merupakan aktivitas mental yang berkaitan dengan proses belajar kognitif.
2) Proses belajar afektif seseorang menentukan bagaimana ia menghubungkan dirinya dengan pengalaman baru. Belajar afektif mencakup nilai emosi, dorongan, minat dan sikap.
3) Proses belajar psikomotor individu menentukan bagaimana ia mampu mengendalikan aktivitas ragawinya. Belajar psikomotor mengandung aspek mental dan fisik.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran adalah perilaku siswa yang lahir setelah mereka mengikuti pembelajaran yang berupa hasil kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam penelitian ini respon yang didapat dari daftar isian siswa hanya pada aspek afektif yaitu nilai emosi untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstektual.

Pendidikan Matematika Realistik

Pendidikan Matematika Realistik (PMR) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMR mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 1994), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995).

Dunia riil adalah segala sesuatu di luar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss, 1989). Dunia riil diperlukan untuk mengembangkan situasi kontekstual dalam menyusun materi kurikulum. Materi kurikulum yang berisi rangkaian soal-soal kontekstual akan membantu proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Dalam PMR, proses belajar mempunyai peranan penting. Rute belajar (learning route) di mana siswa mampu menemukan sendiri konsep dan ide matematika, harus dipetakan (Gravemeijer, 1997). Sebagai konsekuensinya, guru harus mampu mengembangkan pengajaran yang interaktif dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk memberikan kontribusi terhadap proses belajar mereka.

Pengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):

· Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;

· Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;

· Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;

· Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

Paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Zamroni, 2000):

1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);

2) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;

3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan

4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

Teori PMR sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti onstruktivisme dan pembelajaran kontekstual (cotextual teaching and learning, disingkat CTL) . Namun, baik pendekatan konstruktivis maupun CTL mewakili teori belajar secara umum, PMR adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep PMR sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Salah satu pertimbangan mengapa Kurikulum 1994 direvisi adalah banyaknya kritik yang mengatakan bahwa materi pelajaran matematika tidak relevan dan tidak bermakna (Kurikulum 1994 Akhirnya Disempurnakan, 1999).

Beberapa konsepsi PMR tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMR sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia.

Konsepsi tentang siswaPMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut:

- Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya;

- Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri;

- Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;

- Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman;

- Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.

Peran guru PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut:

-Guru hanya sebagai fasilitator belajar;

-Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;

-Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil;

-Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.

Konsepsi tentang pengajaranPengajaran matematika dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek berikut (De Lange, 1995):

-Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna;

-Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut;

-Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan;

-Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang

ditempuh atau terhadap hasil pelajaran

Bukti Empiris Prospek Penerapan PMR di IndonesiaBeberapa penelitian tentang PMR telah dilaksanakan di Indonesia.

Hasil-hasil penelitian tersebut memberikan bukti empiris tentang prospek pengembangan dan implementasi PMR di tanah air Hasil-hasil penelitian tersebut diuraikan di bawah ini.

Penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar di Surabaya menunjukkan bahwa materi PMR dapat digunakan dalam pembelajaran matematika di SD. Dalam penelitian tersebut Fauzan (2002) menemukan bahwa para guru dan siswa-siswa enyukai

materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMR, yaitu menurut mereka materi tersebut sangat berbeda dengan buku yang dipakai sekarang baik dari segi isi maupun pendekatannya. Dengan menggunakan materi PMR di kelas, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, di mana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan

metode ‘chalk dan talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.

Penelitian Fauzan (2002) juga menemukan bahwa pada awalnya terdapat berbagai masalah yang disebabkan oleh sikap negatif siswa dalam belajar matematika yang merupakan akibat pendekatan tradisional pengajaran matematika.

Untuk mengatasi hal tersebut Fauzan (2002) menyarankan untuk memperhatikan hal-hal berikut:

-Sedini mungkin menjelaskan kepada siswa tentang perubahan peran mereka dan guru mereka dalam proses belajar mengajar, dan hal itu berbeda dengan cara sebelumnya atau yang selama ini dipraktikkan di kelas.

-Guru perlu menjelaskan kepada para siswa tentang kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan, dan jenis jawaban yang diharapkan untuk menyelesaikan soal-soal kontekstual.

-Berkenaan dengan sikap negatif siswa-siswa dalam proses belajar mengajar matematika, hal-hal berikut dapat membantu mengubah sikap tersebut:

-Menciptakan pendahuluan yang menantang sebelum siswa mulai menyelesaikan soal-soal kontekstual sehingga siswa

merasa gembira dan bertanggung jawab menyelesaikan soal-soal tersebut.

-Menciptakan suasana demokratis di kelas sehingga siswa tidak merasa takut untuk secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Suasana demokratik artinya siswa merasa bebas untuk aktif dalam proses belajar tanpa merasa takut membuat kesalahan jika mereka ingin bertanya atau menjawab pertanyaan.

-Menerapkan aturan-aturan dalam mengajukan pertanyaan dan dalam menjawab pertanyaan (misalnya mengangkat tangan, tidak boleh berteriak). Katakan kepada siswa bahwa ada konsekuensinya jika mereka tidak mengikuti aturan yang telah disepakati (misalnya dalam menjawab soal harus disertai dengan alasan, kalau itu dilakukan siswa akan mendapat nilai lebih baik).

-Sebagian orangtua siswa membantu anaknya dalam pengerjakan soal-soal pekerjaan rumah (PR), oleh karena itu mereka perlu diberitahu tentang perubahan pendekatan pembelajaran matematika ini, yaitu dari pendekatan tradisional ke pendekatan realistik.

-Disadari bahwa para siswa dan guru perlu waktu untuk dapat mengadaptasikan pendekatan PMR ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Sehingga untuk dapat menerapkan PMR secara berhasil perlu pembiasaan melalui latihan di kelas.

Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistik di SD di dua kota, Yogyakarta dan Medan, menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang.

Penelitian Armanto (2002) juga menunjukkan bahwa siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif; membangun pemahaman mereka sendiri dengan menggunakan strategi penemuan kembali, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok. Kesempatan siswa untuk belajar dalam situasi yang berbeda-beda mendorong mereka merumuskan kembali proses belajar mereka. Selama proses belajar siswa menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam belajar perkalian dan pembagian bilangan multi-angka.

Hasil yang kurang lebih sama juga dilaporkan oleh Hadi (2002). Dalam penelitiannya yang dilaksanakan di Yogyakarta dengan mengambil sampel siswa-siswa SLTP ditemukan hasil positif dalam penggunaan materi PMR dalam pembelajaran matematika, yaitu siswa menjadi lebih termoticvasi, aktif, dan kreatif dalam proses belajar mengajar

disebabkan oleh materi yang menarik karena dilengkapi dengan gambar-gambar dan cerita. Siswa juga menunjukkan kemajuan dalam belajar matematika, yang ditujukkan dengan pemahaman konsep matematika yang mereka pelajari dan peningkatan skor yang mereka peroleh dari pretes ke postes, walupun dengan menggunakan tes konvensional. Temuan ang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002).

Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Zamroni (2000), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:

-di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;

-mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;

-bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;

-memiliki kepercayaan diri yang tinggi.{mospagebreak title=referensi}

Penutup

Inovasi pembelajaran matematika sebagai kata kunci untuk mengatasi problematika pembelajaran matematika di sekolah menengah diwujudkan dalam bentuk “gerakan pemerataan” teknik/model/ strategi/pendekatan pembelajaran matematika yang (katanya) mengakar pada kebutuhan dan kebiasaan realistik siswa di lingkungan hidupnya sehari-hari. “Barang baru” ini diberi nama pembelajaran matematika kontekstual (CTL- Contextual Teaching and Learning - diadopsi dari aslinya contextual mathematics).

CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya.

Dengan penerapan PMR di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan, aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri:

· di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;

· mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;

· bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain;

· memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Daftar Pustaka

Freudenthal. H. (1973). Mathematics as an Educational Task. Dalam van den Heuve

Panhuizen (1996). Assessment and Realistic Mathematics Education. Freudenthal

Institution. Utrecht.

Gravemeijer, K.P.E (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Feudenthal

Institution, Utrecht. NCTM (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia

Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary schools: a prototype of local instructional theory. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

Suparno, P. (1997). Filsafat konstruktivisme dalam pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.

http://www.sman1-labakkang.com SMA Negeri I Labakkang Dibuat pada: 21 October, 2008, 08:01

Tidak ada komentar: